Sepeda
Friday, August 12, 2016
Orang tua saya meneruskan kebiasaan lama. Mereka tak pernah beli
sepeda mahal untuk anak-anaknya yang masih belajar naik sepeda. Adik saya,
Aden yang masih belajar sepeda, dibelikan jengki bekas yang dipasang roda tambahan di samping
kanan dan kiri agar seimbang.
Dulu masa saya kecil, sepeda pertama yang saya punya adalah bekas
milik tetangga. Ibu saya membelinya seharga 20 ribu rupiah. Beranjak lebih
tua, sewaktu SD ibu membelikan sepeda jangki yang harganya 80 ribu rupiah.
Sepeda itu menemani kemana-mana saya pergi. Untuk pergi mengaji, ikut les, atau
main bersama kawan. Belakangan saya ketahui sepeda itu sebelumnya milik seorang
anak dari desa sebelah yang dibeli ibu.
Waktu itu saya sudah sangat senang. Toh sewaktu kecil saya juga tak
terlalu suka minta macam-macam.
Sewaktu mobil Tamiya sedang ngehits,
yang lalu diikuti Beyblade dan Crushgear, saya tak pernah meminta orang tua
membelikan semua itu. Saya sudah cukup puas menjadi penggembira teman-teman
yang memainkannya. Bahkan ketika ada kompetisi balap Tamiya di Gedung Dana
Warih –sebuah gedung pertemuan di dekat kantor kecamatan– saya sudah sangat
terhibur dengan sekadar menjadi supporter
teman-teman yang bertanding.
Setelah SMP saya menyadari satu hal. Keengganan saya minta
dibelikan mainan waktu itu sebenarnya bertemu dengan kondisi ekonomi orangtua
yang pas-pasan. Jadi memang seharusnya saya tak minta banyak-banyak karena akan
merepotkan orang tua.
Waktu SMP saya juga tak banyak minta dibelikan barang. Kalaupun
ingin dibelikan barang, saya tak bilang langsung. Baju baru biasanya dibelikan
hanya waktu lebaran. Itu pun biasanya ibu yang menawari. Kalau urusan sepatu,
biasanya ketika sepatu sudah robek atau berlubang, saya akan biarkan orang tua
tahu sendiri. Lantas biasanya mereka akan membelikan yang baru.
Satu hal yang dulu waktu SMP ingin saya punya adalah sepeda motor.
Setidaknya kalau tak punya motor sendiri, saya ingin bisa bawa motor bapak.
Waktu itu, untuk lebih maju soal pergaulan saya harus bisa pakai motor. Saya
suka iri dengan teman-teman yang bisa main ke berbagai tempat saban hari naik motor.
Suatu ketika saya membonceng bapak melewati jalur menuju kebun teh
Kemuning. Di sana saya berpapasan dengan dua orang teman yang berboncengan.
Betapa merasa malangnya saya ketika melihat teman sudah berkelana kemana-mana
naik motor sementara saya masih duduk manis di boncengan bapak.
Sepeda motor juga merupakan alat lobi yang krusial bagi sebagian
teman saya yang sedang PDKT waktu itu. Tanpa sepeda motor hampir mustahil
mereka yang sedang menjalin hubungan asyik-masyuk bisa saling bertemu di luar jam sekolah. Tapi untuk yang satu ini, sekalipun saya bisa keluar rumah bawa sepeda
motor, segalanya tak akan berjalan mudah karena waktu itu saya mengidap semacam
gynophobia (sindrom yang menyebabkan
deg-degan, otot lemas, dan bibir kaku ketika bertemu wanita yang disukai).
Untuk menunjukkan keinginan bawa motor sendiri, saya pernah
memaksa bapak untuk mengajari menyetir motor Win miliknya. Itu semacam
sindiran. Saya berharap ia tahu betapa inginnya saya bisa keluar rumah bawa
motor sendiri.
Di satu sisi saya ingin sekali punya motor sendiri, tetapi di sisi
lain saya tak berani bilang apapun pada orang tua. Saya mengira mereka tak
cukup mapan soal finansial untuk diusik soal beli motor. Sampai-sampai ketika
mengobrol dengan kawan, kami mencari-cari referensi motor murah untuk diusulkan
ke orang tua suatu saat.
“Kalau mau minta motor beli motor Dayang saja. Seperti motornya
Dayat. Cuma 2,5 juta,” kata Mas Dedi teman saya.
“Atau kalau tidak Viar saja. Sekitar 4 jutaan,” ia menyambung.
Merek-merek itulah yang saya dan kakak saya usulkan ketika suatu
waktu secara tiba-tiba bapak membuka obrolan ingin beli motor baru.
Yang tidak saya sadari kondisi finansial orangtua sebenarnya sudah mulai membaik waktu itu. Salah satu indikasinya orang tua mulai royal memberi uang saku. Sejak jaman Gus Dur memang gaji guru mulai meningkat secara
signifikan dan semakin berlipat di jaman SBY.
Suatu hari di tahun 2006 mendadak ada suara gemuruh mobil bak di
depan rumah. Ia adalah mobil yang membawa motor baru ke rumah. Mereknya FIT S. Betapa
senangnya saya waktu itu. Sejak saat itu bapak memberikan saya kelonggaran
belajar naik motor dan pergi keluar rumah bawa motor walaupun tak pernah
jauh-jauh.
Tempo hari adik saya yang paling muda, 9 tahun usianya, menelepon saya dengan telepon genggam milik ibu. Ia
mengabari telah bisa naik sepeda. Sesuatu yang sangat ia dambakan. Libur lebaran
lalu saya sempat mengajarinya. Ia belum bisa sama sekali waktu itu.
Setelah bisa naik sepeda ia menuntut punya sepeda yang lebih
besar. Kali ini saya yakin keinginan itu akan dituruti orang tua saya. Sesuatu
yang seharusnya tidak begitu merepotkan. Pertanyaannya apakah ia akan dibelikan
sepeda yang mewah atau yang sederhana seperti sepeda bekas milik tetangga,
misalnya? Saya tidak yakin. Karena orang tua saya memang amat low profile.
Ini video adik saya yang pamer skill naik sepeda - diambil dengan kamera telepon genggam bapak yang oldfashioned (baca: jadul) itu.
0 comments