Jalan Rekonsiliasi Kasus Tinta
Tuesday, September 01, 2015Kamis pagi hari, 20 Agustus, saya melongo dari jendela kamar kontrakan. Lagi-lagi saya melihat anak-anak yang sehari sebelumnya mengorek-ngorek barang-barang bekas yang saya taruh di depan kontrakan. Ada 4 orang anak. Mereka mengambil beberapa tinta printer yang kendatipun harganya seratusan ribu sudah tidak terpakai lantaran printernya sudah lama rusak dan belum sempat diperbaiki.
Barang-barang bekas milik anak-anak kontrakan itu memang sering mengundang perhatian, lantaran jumlahnya yang lumayan banyak. Ibu yang bertempat tinggal di samping kontrakan kami pernah meminta mengambil rak pakaian yang saya telantarkan di depan kontrakan. Tidak hanya itu, hampir setiap pemulung yang lewat depan kontrakan kami selalu berhenti sejenak untuk menanyakan barang-barang itu, apakah kami ingin menjualnya atau tidak. Sekitar setengahnya sudah kami jual ke pemulung, sisanya masih ada dan agak terserak berantakan.
Setelah itu saya keluar rumah untuk makan dan pergi ke masjid. Sepulang dari masjid, saya melihat si anak duduk di depan rumahnya. Ketika melewatinya, saya tersenyum. Namun ia membalasnya dengan pandangan kethus. Waktu itu tampaknya urusan kami belum usai. Ia pun datang lagi bersama keempat temannya.
Kali ini saya ambil tindakan. Saya keluar rumah dan mencoba berbicara dengan mereka.
Anak-anak itu sudah sepakat. Mereka akan lapor kepada saya ketika hendak mengambil barang-barang bekas depan kontrakan.
Dengan lebih tenang lalu mereka mengambil beberapa barang waktu itu. Tentunya termasuk tinta printer. Mereka menggunakan tinta printer untuk mewarnai sepeda. Entah apa yang mereka pikirkan, tentu saja tinta printer itu tidak kalis, luntur dan meluber jika digunakan untuk mengecat sepeda. Sebagian tinta akhirnya berceceran di jalan dan tembok.
Persoalan saya anggap sudah selesai. Saya kembali beraktifitas dan anak-anak itu kembali bermain dengan cat dan sepedanya.
"Oh, tadi tidak saya marahi Bu. Saya cuma menyuruh mereka bilang dulu, kalau mau ambil cat. Sebenarnya tidak apa-apa," balas saya memperjelas.
"Nggak Mas. Takutnya keterusan kalau dibiarin. Dikiranya ambil barang tanpa ijin boleh, kalau sudah besar nanti."
"Tadi saya tegur saja, kalau saya marahi pasti mereka malah jadi benci sama saya. Malah susah dibilangin. Habis saya marahin mereka mau minta ijin kalau ambil kok Bu. Tadi mereka sudah ijin," kata saya menenangkan.
"Iya Mas, saya ngga apa-apa (ngga marah sama mas). Takutnya cuma keterusan saja cucu saya nanti."
Yang jadi pangkal masalah, salah satunya, menurut si nenek waktu itu si cucu pulang ke rumah dengan baju berlumuran tinta. Si nenek sangsi dengan apa yang diperbuat cucunya. Barangkali si cucu sudah menjelaskan duduk perkaranya, bahwa ia sudah meminta ijin pada saya untuk mengambil tinta printer, namun si nenek was-was si cucu berbuat yang bukan-bukan.
"Tadi bajunya kena cet (tinta) Mas, ngga bisa dibersihkan. Dulu juga pernah ada kejadian mas," kata si nenek. "Dulu pernah tiga anak di rumah saya. Ada uang 2.000 rupiah sama bapaknya ditaruh di atas meja. 'Lho kok hilang,' kata bapaknya. Waktu itu ketika ditanya, tidak ada yang mengaku. 'Siapa yang ambil?' begitu katanya. Tapi tetap tidak ada yang mau mengaku, Mas. Akhirnya dia bilang, 'Siapa yang ambil uangnya, nanti kalau mengaku Aku tambahi. Aku kasih 10.000.' Akhirnya ada yang mengaku, Mas. Terus, bapaknya memarahi, pura-pura mengancam mau dilaporkan ke polisi." Lanjut nenek itu.
"Iya, Bu," jawab saya singkat.
"Tadi waktu saya marahi kebetulan ada mobil polisi lewat di depan rumah. Ia teriak-teriak. Menangis ketakutan. Terus tadi saya mandikan. Sekarang ia berangkat mengaji," nenek itu melengkapi ceritanya.
Setelah percakapan itu kami saling menyeringai. Saya bergegas pergi dan si nenek kembali ke rumah.
0 comments