Menunggu Perbaikan Sepakbola Kita
Saturday, July 27, 2013Dua minggu ini kita disuguhi tiga pertandingan eksibisi antara
timnas Indonesia melawan klub-klub Eropa yang sejatinya tidak terlalu penting
bagi persepakbolaan kita. Pertandingan-pertandingan tersebut benar-benar tidak
terlalu penting terkecuali jika anda adalah fan berat yang hasrat untuk melihat
pemain-pemain Eropa tersebut dari jarak dekat terpenuhi. Sejatinya yang lebih
banyak diuntungkan adalah ‘mereka’ yang datang dengan misi melebarkan
pendapatan komersial klub melalui bagi hasil dengan promotor dan peningkatan
basis fans. Tapi, negara mana yang ingin melewatkan tur pra-musim klub-klub
papan atas Eropa?
Ketiga pertandingan anjangsana tersebut telah dijalani. Sesuai
dugaan, timnas kita kalah telak di ketiga pertandingan tersebut dengan skor 7-0 melawan Arsenal, 2-0 melawan Liverpool, dan 8-1 melawan Chelsea. Tidak hanya di
pertandingan melawan Arsenal, Liverpool, dan Chelsea saja, sejatinya timnas
kita sudah lama tidak pernah menang di laga-laga internasional.
Lalu siapa yang pantas disalahkan? Apakah kita harus menyalahkan pemain-pemain
kita yang rela-rela melakukan tackling-tackling keras di pertandingan anjangsana
tersebut? Tentu tidak arif rasanya menyalahkan mereka. Lagi pula, suka tidak
suka, merekalah pemain-pemain terbaik yang dimiliki Indonesia saat ini
(terkecuali pada laga melawan Chelsea, karena timnas diperkuat oleh
pemain-pemain U-23 yang notabene secara jam terbang masih di bawah timnas
senior).
Kita sudah lama terpuruk. Pihak yang wajib berinstropeksi atas
kebobrokan timnas selama ini adalah seluruh stakeholder sepakbola Indonesia,
dari pengurus klub, pengurus PSSI, pemain, suporter, dan bahkan pemerintah.
Sejatinya, maju tidaknya persepakbolaan di suatu negara tidak hanya diukur oleh
kemenangan atau trofi yang diperoleh timnasnya di laga-laga internasional saja.
Lebih dari itu, sepakbola telah menjadi milik orang banyak. Kualitas kompetisi,
pembinaan usia muda, antusiasme masyarakat terhadap sepakbola, kualitas
manajerial klub dan federasi, dan bahkan kedewasaan suporter menjadi poin wajib
yang harus dibenahi.
Untuk apa kita berharap mendapat pengalaman bertanding melawan
klub-klub Eropa dan berharap pemain-pemain kita ‘dilirik’ klub Eropa jika
kompetisi lokal (ISL/ IPL) tidak pernah dibenahi. Bahkan membayar gaji pemain
saja, klub-klub kita tidak bisa. Belum lagi masalah perwasitan, pengaturan
skor, dan kerusuhan suporter.
Saya masih teringat dengan ucapan Nurdin Halid kala masih duduk
nyaman di singgasana ketua umum PSSI. Ia pernah berujar, “Kualitas suatu timnas
tidak ditentukan oleh kualitas kompetisinya. Walaupun kualitas kompetisi kita
tidak terlalu baik, timnas masih bisa berprestasi.” Kurang lebih begitulah
ucapan Nurdin yang kontroversial itu (mungkin dengan redaksi yang agak berbeda).
Setelah Nurdin tak lagi berkuasa, tak disangaka sikap-sikap salah
kaprah seperti itu masih saja dipelihara. Dua tahun kepengurusan PSSI yang
baru, tak ada perubahan signifikan yang dilakukan. Yang ada justru peringkat
FIFA timnas Indonesia yang semakin lama semakin merosot. Tidak salah jika kita
bermimpi melihat timnas Indonesia berlaga di Piala Dunia suatu saat nanti.
Tapi, jika membenahi liga saja tidak bisa, rasanya kita terlalu delusional
untuk berharap lebih.
Tulisan ini juga di-post di blog beritasatu.com.
Tulisan ini juga di-post di blog beritasatu.com.
2 comments
koyo ngimpi rasane
ReplyDeletesejatine yo lagi ngimpi Mas, yok ra. :))
ReplyDelete