Dangdut Koplo Travel in Bali with Mechanical Silver
Monday, July 08, 2013
Di
tengah pemberitaan isu kenaikan BBM dan isu-isu politik yang melanda dunia
termasuk gonjang-ganjing peruntuhan pemerintahan demokrasi di negeri-negeri
Timur Tengah, ada sekelompok mahasiswa yang merelakan telinganya terus-menerus
bersetuju dengan dentuman musik dangdut koplo dalam sebuah perjalanan bertajuk
KKL menggunakan bus ber-AC. Biaya jasa kesehatan di Tembalang dan harga nasi
Padang yang disinyalir sudah mahal –bahkan sebelum ribuan mahasiswa dari
kawasan Undip Pleburan berhijrah ke Tembalang– bukan menjadi alasan bagi kami,
anak-anak Mesin, memilih tujuan KKL sekitaran dalam negeri saja, meskipun
beberapa dari kami sering mengalami memar-memar sehabis menonton event-event
olahraga dan terus-menerus memelihara hobi makan nasi Padang.
Nyatanya,
pilihan tujuan KKL ke Surabaya dan Bali bukan pilihan yang terlalu buruk
mengingat berkumpulnya kembali anak-anak Mechanical Silver –nama Mechanical Silver merujuk pada warna jaket angkatan kami– di tempat wisata
domestik ala kadarnya jauh lebih baik daripada merelakan sebagian dari kami
tersenyum lebar di negeri orang sementara sebagian yang lain mengerutkan jidat
laksana orang yang menahan hasrat buang hajat karena terbebani biaya KKL yang
mahal.
Bali
punya bangunan-bangunan dan orang-orang dengan pakaian adat yang ikonis dan
sedap dipandang. Selain itu di Bali banyak tempat-tempat yang menjual
pernak-pernik khas Bali. Sangat beragam. Bahkan toko kelontong di Bali pun juga
beragam, tidak seperti Tembalang yang diduopoli oleh Indomart dan Alfamart.
Tidak seperti Semarang yang masih mengalami pancaroba, saya pikir di Bali sudah
memasuki musim kemarau, jadi kami terbebas dari hujan asam selama di Bali. Itu
semua patut disyukuri.
***
Saya
memang tak pernah naik pesawat, apalagi naik pesawat ke luar negeri. Tapi satu
hal yang saya yakini, kita tak perlu menahan emosi gara-gara lantunan musik
dangdut koplo jika bepergian menggunakan pesawat. Barangkali itulah salah satu
hal yang tidak mengenakkan hati jika memilih tujuan KKL dalam negeri melalui
jalur darat seperti yang kami alami (atau lebih tepatnya yang saya alami).
Sebenarnya
anda tak perlu membaca catatan perjalan ini jika saya tak pernah bertemu bocah
Legian berusia 6 tahun bernama I Ketut Suryadi di hari terakhir di Bali yang
membuat saya kembali berniat menulis tentang perjalanan KKL ini setelah sempat
mengalami bad mood untuk menulis tentang berbagai obyek wisata
di sana. Lagi pula, anda pasti sudah pernah berkunjung ke obyek-obyek yang saya tulis di postingan ini. Tapi saya beranggapan, jika saya harus menulis tentang I Ketut Suryadi,
kurang afdhol rasanya jika tidak menulis tentang obyek-obyek wisata yang saya
kunjungi. Biarlah I Ketut Suryadi menjadi epilog dalam catatan ini.
Tanah
Lot – Tanjung Benoa – Dreamland
![]() |
Gapura masuk Tanah Lot |
![]() |
Pura di Tanah Lot |
![]() |
View Tanah Lot |
![]() |
Tempat Ibadah Hindu di Tanah Lot |
Pukul
12.00 WITA kami sholat Jum’at di Puja Mandala Nusa Dua, dilanjutkan berwisata
ke Pantai Tanjung Benoa yang landai dan asri. Di Nusa Dua banyak terdapat hotel-hotel berbintang yang sering dijadikan venue Konferensi Tingkat Tinggi. Jika ingin menginap disana, anda dapat memesan kamar hotel di Nusa Dua dengan mengunjungi situs voucherhotel.com/indonesia/nusa-dua. Anda akan mendapatkan pelayanan yang mudah, murah, lengkap, dan aman.
Bagi kaum sektarian hedonisme,
selain meminum arak Bali, menilik turis-turis asing yang sedang berjemur di
pantai, atau masuk ke bar-bar di Legian saat malam tiba, perilaku khilaf yang
juga dapat dilakukan adalah menyebrang ke Pulau Penyu di Tanjung Benoa lalu
mengangkat dan menenggelamkan penyu berulang-ulang di kolam penangkaran sambil
berfoto ria. Meskipun tak lebih absurd dari memakan sirip ikan
hiu, memain-mainkan penyu seperti itu sudah cukup terlihat sebagai perbuatan
durjana terhadap hewan.
![]() |
Pantai Tanjung Benoa |
![]() |
Ini orang-orang kurang kerjaan, nyiksa hewan |
Oh
iya, di Tanjung Benoa anda bisa snorkeling dengan membayar 300
ribu jika mau. Diving juga bisa sepertinya. Mungkin karena
gelombang air laut di sana cukup landai, jadi memungkinkan untuk itu semua.
Perjalanan
hari Jum’at diakhiri dengan berwisata ke Pantai Dreamland yang pasirnya putih.
Lagi-lagi pantai (inilah alasannya mengapa saya sempat mengalami bad
mood untuk menulis tentang perjalanan ini). Gelombang air laut di
Dreamland lumayan besar hingga dapat digunakan untuk surfing oleh
wisatawan. Itu yang dapat saya ceritakan tentang Dreamland. Mungkin
anda juga sudah pernah mengunjunginya?
Meskipun
hanya berwisata di sekitaran pantai, gemercik ombak di pantai-pantai tadi
lumayan untuk mendinginkan telinga yang memerah akibat lantunan dangdut koplo
yang diputar di bus dengan penuh khidmat sepanjang perjalanan. Itu sangat layak
untuk disyukuri.
Malam
harinya kami check in di Hotel Puri Indah (kalau tidak salah
namanya demikian) di Legian. Hotel ini ‘strategis’ karena berada di tengah
keramaian Legian, sekitar 50 meter dari monumen peringatan tragedi Bom Bali
–meskipun selama dua malam di hotel saya cuma stay di hotel saja dan tidak ke
mana-mana– dan hotel ini juga menyediakan fasilitas yang lumayan, i.e: TV kawak
dengan channel luar negeri dari Telkom Vision, kamar mandi
dengan air hangat, dan kolam renang. Standar saja. Namun, setidaknya televisi
di hotel ini tidak memuat channel lokal seperti channel lokal
Semarang yang secara konsisten menayangkan dangdut koplo (entah mengapa perkara
dangdut koplo ini saya tulis berulang-ulang padahal tidak terlalu penting juga
untuk diceritakan).
Anda bisa juga memesan kamar hotel di Legian Kuta secara online di voucherhotel.com/indonesia/kuta-bali dengan pelayanan yang mudah, murah, lengkap, dan aman.
Anda bisa juga memesan kamar hotel di Legian Kuta secara online di voucherhotel.com/indonesia/kuta-bali dengan pelayanan yang mudah, murah, lengkap, dan aman.
Wisata
Belanja
Hari
Sabtu kegiatan wisata diisi dengan belanja. Sebenarnya kami dijadwalkan melihat
pertunjukan tari barong yang mulai dihelat pukul 08.00 WITA. Dengan estimasi
lama perjalanan 2 jam, kami seharusnya berangkat pukul 06.00 WITA. Tapi,
meskipun biro perjalanan dan panitia sadar membangunkan manusia-manusia kalong
di pagi hari lebih susah dari mengerjakan soal-soal Termodinamika dan Mekanika
Fluida, jadwal pertunjukan tari barong tidak bisa digeser. Kami yang seharusnya
mawas diri. Tapi apa boleh buat, segenap rombongan baru benar-benar siap keluar
hotal pukul 09.00 WITA.
Akhirnya
kegiatan sebelum makan siang diisi dengan berbelanja di sebuah toko (apa nama
tempatnya, saya lupa), dilanjutkan ke Pasar Seni Sukawati dan Joger setelah
makan siang. Saya tak banyak membeli barang belanjaan di ketiga tempat
tersebut. Saya memberikan batasan untuk barang-barang yang akan saya beli:
benar-benar akan saya pakai, ikonis, tidak banyak dipakai orang, dan warnanya
gelap a la gothic. Agak terdengar ribet memang ya. Alhasil, saya jadi sangat hemat.
Tempat
belanja yang paling berkesan tentu di Pasar Seni Sukawati karena penjual di
sana menjajakan barang dagangan secara ekstrim dan tak kenal lelah, sampai ke
tengah-tengah jalan sambil melambaikan barang dagangan layaknya penjual
soal-soal UM Undip di pinggir-pinggir jalan.
Selain
itu, kita juga harus tawar-menawar secara tegas dengan para penjaja agar
mendapatkan harga yang murah. Harga yang pantas adalah 25-30% dari harga awal.
Kabarnya toko-toko pakaian dan kerajinan di Legian juga mengambil barang secara
grosir dari Sukawati. Sukawati-lah pusatnya. Jadi, harga-harga barang di
Sukowati sebenarnya lumayan terjangkau asal kita bisa menawar dengan baik.
Bedugul
Obyek
terakhir di Bali yang kami kunjungi adalah Bedugul, tepatnya pada hari Minggu,
dan kami mampir di danau-nya. Bedugul adalah obyek terbaik selama perjalanan ke
Bali. Entah mengapa, saya selalu merasa lebih nyaman menikmati obyek wisata di
dataran tinggi dengan udara dinginnya ketimbang obyek-obyek wisata di dataran
rendah, walaupun di hari Minggu ini saya mulai terserang demam.
Di
perjalanan ke Bedugul melalui jalan yang berkelak-kelok, mulai ada alternatif
tontonan selain dangdut koplo di bus. Ada DVD pertunjukan lawak tradisional
yang bisa kami tonton sejak hari Sabtu. Seperti yang anda pernah lihat,
pertunjukan lawak berbahasa Jawa seperti ludruk atau kethoprak menyajikan
dialog yang menggebu-gebu dan terdengar kasar. Tapi jika anda paham bahasa
Jawa, anda akan mudah tertawa bahkan sebelum punchline hanya dengan
melihat gestur dan mimik wajah para pemainnya. J
Beberapa
Yang Hilang
Jika
ada hal yang jelas-jelas tidak akan tercapai, lalu seseorang tetap
memasukkannya dalam daftar advantage demi sebuah bargaining
value yang lebih tinggi, tidak ada anggapan lain yang terlintas di
pikiran kecuali anggapan bahwa hal itu hanyalah sebuah konspirasi belaka.
Selain pertunjukan tari barong yang gagal kami tonton karena kami gagal bangun
pagi –padahal kami paham dari awal kami tidak akan bisa bangun pagi–, ada dua
obyek wisata lain yang terlewat, Museum Le Mayeur dan pantai Sanur (kalo tidak
salah). Jadi, hampir semua obyek yang kami kunjungi adalah obyek-obyek free
pass, karena obyek pertunjukan tari dan museum terlewati begitu saja.
Konspirasi biro perjalanan? Sudahlah tak perlu berburuk sangka.
Epilog
Malam
terakhir di Bali, pada Sabtu malam ditutup dengan makrab di hotel. Seperti
makrab yang sudah-sudah, saya tampil mebawakan materi-materi stand up
comedy di tengah-tengah pertunjukan –lagi-lagi– dangdut koplo. Karena
ada dosen yang ikut makrab, beberapa materi saya sensor. J
Di
tengah pertunjukan dangdut koplo yang sudah semakin khidmat, saya menepi dan
duduk-duduk di dekat kolam renang hotel berbincang dengan salah seorang anak
asli Legian bernama I Ketut Suryadi yang diam-diam ikut melihat pertunjukan
makrab kami. I Ketut Suryadi yang berwajah mirip orang Indochina itu baru
berusia 6 tahun. Ia tinggal di belakang hotel Puri Indah.
Saat
mengobrol, iseng-iseng saya tanya kesehariannya dan keluarganya. Ia mengaku
seorang anak nelayan. Bapaknya punya kapal besar, katanya. Ia juga mengaku
sering diajak menangkap ikan waktu malam hari, bahkan pernah ikut menangkap
ikan-ikan besar seperti paus, hiu, dan pari. Lalu, perkataan tour guide mengenai
perairan di Bali yang tidak ada ikan-ikan besarnya tentu perlu disangsikan jika
merujuk pada pernyataan I Ketut Suryadi.
Menurut
penuturannya, bapaknya bersama nelayan-nelayan lain pernah 5 kali menangkap
ikan paus, tentu saja dengan I Ketut Suryadi ikut di beberapa penangkapannya.
Dengan cerita-cerita yang ia kisahkan, anak nelayan ini sepertinya memang
berdikari seperti anak nelayan yang biasa digambarkan lewat tayangan Bolang di
televisi. Yang jelas, I Ketut Suryadi menyelamatkan semangat saya untuk menulis
perjalanan KKL. Mungkin anda sudah pernah mengunjungi obyek-obyek yang saya
sebutkan di atas, tapi mungkin anda belum pernah bertemu bocah seberdikari I
Ketut Suryadi. That is all.
![]() |
Ini I Ketut Suryadi (gambar agak buram karena pake kamera ponsel) |
Terimakasih
telah membaca postingan (yang agak jayus ini) untuk kontes di http://www.voucherhotel.com/travel/kontes/ ini. Kemana pun tujuan KKL, tetap jaga lengkungan
senyum kalian agar terlihat menawan. #eaaa
4 comments
wah sayang ane ga ikutan hiks hiks
ReplyDeleteI Ketut Suryadi yang di kolam renang itu bang?
ReplyDelete@Gilang Kamu dulu sangat ditunggu.. :))
ReplyDelete@Irfan Iya, Fan..
ReplyDelete