Sepak Bola Lebih Dari Sekadar Sex Appeal
Sunday, May 05, 2013Ada suatu
masa ketika jeda pra-kompetisi liga sepak bola diisi dengan kesibukan para pemain
mengurus administrasi kepegawaian alih-alih mengikuti instruksi media officer untuk menunjukkan senyum
dan sapa pertama kalinya di tim baru dalam sebuah konferensi pers. Pada masa
itu sepak bola jauh dari kata industrialisasi dan moderenisasi seperti sekarang
ini. Bahkan para pemain pun harus diangkat menjadi pegawai negeri agar dapat
menerima honor bulanan yang diambil dari anggaran pendapatan belanja daerah
setempat.
Di Eropa di masa
ketika film bisu dan hitam-putih masih berjaya, sepak bola dilakukan karena alasan
prestasi atau politik yang akhirnya akan mengangkat nama daerah atau negara
terkait. Beberapa informasi mengenai sepak terjang dua mata-mata suruhan Benito
Mussolini, Marco Scaglia dan Luciano Benetti di Piala Dunia pertama kalinya di
Montevideo Uruguay menunjukkan rezim fasis seperti Italia di masa Benito
Mussolini pun berusaha membuat negaranya bersinar melalui sepak bola dengan
meneror para pemain Argentina berdarah Italia –para pemain itu diantaranya Guillermo
Stabile, Francisco Varallo, Carlos Peucelle, dan sang bintang terang, Luis
Monti— agar gagal menang bersama Argentina di final Piala Dunia 1930. Dengan
kekalahan para pemain itu bersama Argentina, dua mata-mata Mussolini berharap Luis
Monti dan rekan-rekannya dapat dengan mudah dibujuk agar pindah ke Italia dan
mengharumkan nama Italia di pentas Piala dunia edisi berikutnya.
Ketika sepak
bola sudah menjadi lebih maju dan modern terutama diawali di Eropa pada tahun
1990-an, swasta sudah mulai mengambil alih sepak bola sebagai bisnis yang
menguntungkan. Sepak bola sudah tidak lagi merupakan hitung-hitungan menang
kalah saja, akan tetapi lebih dari itu sepak bola merupakan komoditi hiburan
yang bisa dijual. Sebagai sebuah komoditi bisnis, sepak bola memerlukan packaging yang baik. Mulai dari tampilan
jersey yang dikenakan pemain, hingga
pemain itu sendiri diharapkan dapat menarik banyak orang untuk menyaksikan dan
atau membayar demi sepak bola. Bahkan pada beberapa kasus para pemain sepak
bola dianggap menonjolkan sisi sex appeal
mereka untuk membuat fans melihat permainan mereka.
Pada sepak
bola pria, sudah terlampau sering terdengar kehidupan glamor para selebriti
lapangan hijau di luar lapangan yang pada akhirnya akan mempengaruhi
ketertarikan fans pada mereka di dalam lapangan. Sebut saja David Beckham yang
mulai bersinar sejak Piala Dunia 1998 bersama Timnas Inggris. Beckham memiliki
magnet yang mampu menarik perhatian fans, terutama kaum hawa dengan keahlian
tambahannya menjadi bintang iklan atau berakting di depan layar hingga orang-orang
menganggap ketertarikan beberapa klub terhadap Beckham di ujung karirnya adalah
karena alasan bisnis semata, bukan teknis.
Alex Morgan,
satu dari dua orang bintang sepak bola wanita Amerika Serikat yang mampu
menorehkan lebih dari 20 gol dan assist
dalam setahun mengatakan, tak masalah jika daya tarik seks bisa memikat lebih
banyak orang untuk melihat permainan sepak bola wanita. Idealnya fans menonton
sepak bola karena alasan teknis, tetapi menurut Alex Morgan yang juga pernah
melakukan sesi pemotretan dengan majalah Sport Illustrated ini, publik memiliki
opini dan penggambaran pribadi mengenai seorang pemain sepak bola dengan cara
yang mereka sukai.
“Atlet-atlet
wanita akan selalu disorot karena daya tarik seks mereka. Tak hanya tim AS,
tapi juga tim lainnya. Saya sudah pernah berfoto untuk Sports Illustrated, tapi
saya tak menyesalinya karena saya dideskripsikan dengan cara yang positif -
sebagai seorang atlet,” kata Alex Morgan.
Seorang
kolumnis bernama Paula Colozza pernah memuat pandangan Presiden FIFA, Sepp Blatter
mengenai sepak bola wanita dalam tulisannya di The Guardian. “Sepp Blatter
suggested he had a vision of how the women's game might take itself forward,
might finally bring itself to the wider notice it craved. His thought was that
if only women would adopt 'a more female aesthetic' when playing football
- 'they could for example have tighter shorts' - more people might
take an interest,” tulis Paula.
Beberapa
orang konservatif tentu tidak sepakat dengan ide-ide semacam ini. Namun, jika di
negara sekonservatif Arab Saudi saja masih terdengar kabar diadakannya
pertandingan sepak bola wanita –meskipun dengan perangkat pertandingan dan suporter
keseluruhannya adalah wanita—, maka sebenarnya sepak bola tak kehilangan sifat
universalnya. Dalam kasus lain, FIFA yang pernah memberlakukan larangan
penggunaan jilbab pada sepak bola wanita karena alasan keselamatan dan keamanan
pun pada tahun 2012 menghapus larangan itu. Meskipun setiap pihak punya
deskripsi positif subyektif yang berbeda-beda mengenai packaging sepak bola, sebenarnya memainkan dan menikmati sepak bola
dengan rasa masing-masing adalah hak setiap orang karena sepak bola tak melulu karena bisnis. Maka, selama prinsip itu
masih terus dipegang, sepak bola adalah salah satu olah raga paling ramah bagi
seluruh ras dan golongan di muka bumi.
[Tulisan ini juga dimuat di footballfandom.net]
[Tulisan ini juga dimuat di footballfandom.net]
1 comments
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete