Saya, Sekadar Pejalan Blog
Thursday, February 07, 2013
Semua blogger yang gemar menuliskan apa saja yang ingin ia
bagi ke seluruh orang di dunia melalui blog-nya pasti menginginkan suatu
manfaat yang datang kemudian setelah tulisan-tulisannya dibaca orang. Manfaat paling minimal adalah manfaat yang dapat dirasa oleh blogger itu sendiri, seperti membantu
mencurahkan perasaan si empu blog, atau sebagai relaksasi pikiran.
"Menulis membuat kita merasa senang," kata seorang teman. Ya, itu adalah
salah satu manfaat yang paling nyata.
Lebih jauh dari itu, kegiatan menulis di dunia maya ini menurut
saya merupakan salah satu kegiatan yang dapat membawa perubahan besar dalam
berbagai aspek kehidupan. Saya pernah menulis sebuah artikel di blog saya yang
lain (i-hidayat.blogspot.com),
mengenai merosotnya citra kota Sidoarjo akibat ekspos media yang agaknya
terlalu berlebihan mengenai bencana lumpur Sidoarjo, sehingga Bupati Sidoarjo
dalam sambutannya pada acara kopdar Blogger Nusantara sekitar setahun lalu meminta
kepada para blogger yang sedang melaksanakan kopdar di Sidoarjo untuk ikut membantu
mengembalikan citra kota tersebut dengan menulis sisi-sisi positif Kota
Sidoarjo lewat media blog. Wajar saja jika beliau mengeluhkan hal itu. Walaupun
wilayah yang terkena dampak buruk akibat semburan Lumpur Sidoarjo cukup luas,
yakni meliputi 16 desa di 3 kecamatan, namun tidak seharusnya desa-desa di 15
kecamatan lain yang tidak terkena dampak semburan lumpur ikut menjadi daerah
'terlarang' akibat munculnya stigma-stigma negatif hasil dari pemberitaan di
media yang overrated.
Ikan-ikan lele
yang ditangkar di kolam-kolam di Sidoarjo tidak boleh dibiarkan menangis di
alam baka karena tidak ada yang mau memakan mereka setelah dikirim ke kota lain
dan dibakar disana; anak-anak gadis asal Sidoarjo yang diminta menetap di sana
oleh orang tuanya setelah menikah tidak seharusnya menjadi perawan tua karena
para jejaka dari kota lain tak ada mau menetap di Sidoarjo setelah menikah;
atau nenek-nenek tua berpenyakit jantung koroner tak perlu lemas tak berdaya
karena kuatir mendengar cucunya berlibur di Sidoarjo; atau saya tak perlu takut
jika di undang teman saya Indra Laksana ke acara resepsi pernikahannya jika
suatu hari ia ingin menikah di daerah asalnya tersebut, itu juga jika dia masih
ingat dengan saya sih. "Saatnya
menuliskan hal-hal baik tentang Sidoarjo untuk menyelamatkan daerah-daerah aman
yang sekarang terkena dampak buruk tulisan-tulisan di berbagai media, tapi kita
juga tetap harus menyelesaikan masalah lumpur yang ada," mungkin kalimat
seperti inilah yang ada dibenak Pak Bupati.
Selain kasus di atas, menurut saya kegiatan tulis-menulis
di blog juga memberikan warna lain dalam penggalian literatur untuk membuat paper, artikel, atau apa saja lah yang
memerlukan sikap keilmiahan dalam menuliskannya. Walaupun kebanyakan tulisan di
blog tidak sedetail dan tidak memiliki standard yang melebihi kualifikasi
literatur-literatur yang diterbitkan dalam bentuk buku, tulisan-tulisan para
blogger juga banyak yang tak kalah referensial dari buku-buku yang berjajar
rapi di toko-toko buku, terlebih saat ini kita mendapat banyak bantuan dari Algoritma Google yang senantiasa menyeleksi artikel-artikel terbaik untuk dimunculkan di halaman hasil pencarian Google.
Bahkan jika kita melihat-lihat buku-buku non-fiksi di toko buku, cukup banyak buku-buku yang 'seharusnya' tidak layak terbit beredar di sana, seperti buku kumpulan tweet atau buku-buku resep masakan yang acap kali asal copy-paste saja dari internet. Jika Chef Juna melihat buku-buku resep masakan semacam itu di Toko Buku Gramedia terdekat di kotanya, saya pikir dia akan memasang wajah tengil sambil ngangkang dan berkata,"Apa-apaan ini!"
Bahkan jika kita melihat-lihat buku-buku non-fiksi di toko buku, cukup banyak buku-buku yang 'seharusnya' tidak layak terbit beredar di sana, seperti buku kumpulan tweet atau buku-buku resep masakan yang acap kali asal copy-paste saja dari internet. Jika Chef Juna melihat buku-buku resep masakan semacam itu di Toko Buku Gramedia terdekat di kotanya, saya pikir dia akan memasang wajah tengil sambil ngangkang dan berkata,"Apa-apaan ini!"
Mengenai kualitas dan kuantitas buku-buku di toko buku, sejujurnya
saya cukup kecewa saat beberapa hari lalu, tepatnya Minggu sore tanggal 3 Februari 2013, gagal mendapatkannya buku
yang selama ini saya idam-idamkan karena kolom stok buku tersebut dalam katalog
menunjukkan angka 0. Yang lebih membuat saya kecewa adalah karena saya telah
memperhitungkan pengeluaran dan pemasukan jauh-jauh hari hanya untuk
membelinya. Buku yang saya cari adalah Otobiografi Mohammad Hatta yang tebalnya
melebihi tebal Al-Qur'an dan Terjemahannya.
Sebuah resensi di Kompasiana membuat saya berkeinginan untuk membaca Otobiografi Bung Hatta ini. “Bung Hatta berangkat ke Belanda naik kapal dari Teluk Bayur tuk menempuh pelayaran selama 1 (satu) bulan. Banyak cerita lucu selama perjalanan, saat kapal bersandar dipelabuhan Port Said, seorang mahasiswa dari Surabaya tidak mau membayar hasil ramalan peramal yang naik ke atas Kapal. Alasannya, seharusnya kamu sudah bisa meramal bahwa saya tidak akan bersedia membayar, kata si mahasiswa ini. Si Peramal jengkel dan sambil berlalu mengatakan bahwa kamu besok akan meninggal. Si Mahasiswa jadi ketakutan tak bisa tidur, akhirnya dibujuk oleh teman-temannya bahwa itu hanya bohongan ha ha ha,” tulis seorang seorang blogger bernama Reflusmen di kolom Kompasiana miliknya.
Sebuah resensi di Kompasiana membuat saya berkeinginan untuk membaca Otobiografi Bung Hatta ini. “Bung Hatta berangkat ke Belanda naik kapal dari Teluk Bayur tuk menempuh pelayaran selama 1 (satu) bulan. Banyak cerita lucu selama perjalanan, saat kapal bersandar dipelabuhan Port Said, seorang mahasiswa dari Surabaya tidak mau membayar hasil ramalan peramal yang naik ke atas Kapal. Alasannya, seharusnya kamu sudah bisa meramal bahwa saya tidak akan bersedia membayar, kata si mahasiswa ini. Si Peramal jengkel dan sambil berlalu mengatakan bahwa kamu besok akan meninggal. Si Mahasiswa jadi ketakutan tak bisa tidur, akhirnya dibujuk oleh teman-temannya bahwa itu hanya bohongan ha ha ha,” tulis seorang seorang blogger bernama Reflusmen di kolom Kompasiana miliknya.
Menurut saya, orang-orang tidak lantas menjadi klasikal dalam
dunia perbukuan setelah membaca Otobiografi ini, tapi mengapa penyediaan buku ini tidak
disamakan dengan buku-buku lain yang lebih nge-hip dan digemari anak-anak muda
masa kini? Entahlah.
Sore itu, karena duit di dompet cukup untuk beli 1 buku
tebal, setelah gagal menemukan Otobiografi Mohammad Hatta, saya mencari
beberapa literatur sepak bola yang disarankan oleh banyak pecinta bola.
Beberapa judul yang saya tahu adalah Inverting
The Pyramid, Soccernomics, atau How Football Change Your Life. Pada
akhirnya, dari ketiga buku tersebut hanya Soccernomics saja yang tercatat
jejaknya di katalog dengan (lagi-lagi) angka 0 yang tertera pada kolom stok
buku. Ya, saya tahu buku Otobiografi Mohammad Hatta atau buku-buku literatur
sepak bola yang saya sebutkan di atas (mungkin) tak akan saya baca sampai
tuntas, terlebih selain Otobiografi Bung Hatta tersebut, dari ketiga buku
lainnya hanya Soccernomics yang sudah
diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Tetapi setidaknya, jika membelinya saya
sedikit punya bahan untuk menulis beberapa resensi buku dihadapan goodreaders kelak. Kedengaran
menyedihkan?
Berangkat dari kegagalan mencari buku-buku tematik sepak
bola yang kata orang jadi buku pegangan wajib di beberapa univeritas di Eropa
sana itu, sore itu saya melanjutkan mencari-cari buku serupa yang ditulis oleh
orang Indonesia asli. Hasilnya, hampir semua saya anggap kurang berbobot, hanya
satu yang cukup menarik perhatian saya, yaitu buku yang ditulis oleh pendiri
JL-Sport –perusahaan yang bergerak dalam penjualan alat-alat futsal
dan jasa coaching futsal– tapi sayangnya buku itu tentang futsal, bukan sepak bola, jadi saya
enggan membelinya, saya lebih prefer
sepak bola.
Sebenarnya ada juga sih, buku karangan Timo Scheunemann
yang judulnya (kalo tidak salah) “Membangun Industrisialisasi Sepak Bola Indonesia”,
tapi buku tersebut kurang detail. Pada beberapa bab, misalnya bab tentang
pentingnya pengetahuan sepak bola, ia hanya mencontohkan satu kasus saja, tidak
lebih. Ia hanya mencotohkan satu pengetahuan tentang bagaimana seharusnya positioning seorang bek saat menghadapi dua
striker sekaligus. Contoh lain, pada bab mengenai nilai-nilai yang harus tetap
dijaga oleh pengelola liga untuk mengindustrialisasikan sepak bola, Timo hanya
mengambil satu contoh pengelolaan liga saja, yaitu Liga Inggris yang menurutnya
semakin lama semakin meninggalkan nilai-nilai universal sepakbola karena hanya kalangan teras perkotaan saja yang sekarang dapat menikmati liga nomer satu di dunia tersebut
secara langsung. Saya pikir informasi-informasi dalam buku Timo semacam itu,
cukup banyak bertebaran di internet. Jadi saya enggan membeli buku Timo.
Cukuplah bagi saya untuk memberikan predikat buku terbaik yang saya temui sore
itu untuk buku yang ditulis pendiri JL-Sport.Tapi sekali lagi, temanya futsal.
Gagal membeli buku, saya kembali menjadi blog walker yang lebih memilih keluar mencari
koneksi internet untuk membaca blog-blog pribadi milik teman dan para blogger
literalis alih-alih berdiam diri membaca buku di kamar. Selagi tidak punya buku
untuk dibaca, saya optimalkan saja sumber bacaan dari internet hingga mampu
meminjam atau membeli buku yang memenuhi hasrat membaca saya. Ada sebuah pemeo teman
lama, “Bacalah apa saja, kau akan pandai membaca.”
Terimakasih.
1 comments
Sip. :)
ReplyDelete