Membandingkan Kisah Para Penghafal dan Dominic O’Brien
Monday, February 11, 2013
Suatu waktu saya terduduk di dalam masjid mendengar seorang lelaki bernama
Mukhtar berkisah mengenai seorang lelaki yang selalu menutup telinganya
rapat-rapat ketika mendengar bunyi-bunyian atau perkataan apapun yang ia anggap
buruk dan tak pantas didengar. Mukhtar mengisahkan, suatu waktu lelaki itu
bersama sebuah rombongan pernah melakukan perjalanan melewati suatu
perkampungan --entah apa nama perkampungan itu, karena Mukhtar juga tidak
memberitahuku, bahkan saya juga lupa nama lelaki itu--. Kemudian lelaki itu
berhenti sejenak untuk menutup kedua telinganya rapat-rapat sebelum berjalan
lebih jauh.
Seusai berlangkah-langkah rombongan itu berjalan dengan salah satu anggota
rombongan menutup telinganya sendiri rapat-rapat, bertanyalah salah seorang
anggota rombongan lain kepada anggota rombongan yang menutup rapat-rapat
telinganya itu,
“Mengapa engkau menutup telingamu, selama beberapa saat tadi?”
“Demi Tuhan, aku selalu menghafal apapun yang aku dengar,” jawab lelaki
yang menutup telinganya tadi.
Mukhtar mengisahkan, di perkampungan itu rombongan melewati
segerombolan orang yang sedang asyik berjoget-joget sambil berfoya-foya
(mungkin semacam dugem di jaman sekarang). Salah seorang dari rombongan yang
memiliki hafalan sangat kuat enggan mendengar suara-suara itu karena ia akan
menghafal apapun yang ia dengar, sekalipun ia tak ingin menghafalnya sama
sekali. Maka, ia menutup telinganya rapat-rapat selama melewati gerombolan itu.
***
Kisah ini mengingatkan saya pada seorang lelaki tetua Desa Prayan tempat
saya tinggal. Lelaki yang selalu berias dengan kemeja batik lengan panjang dan
peci Sukarno di kepala saat hendak bepergian, Syaikhuddin namanya.
Matanya yang lebar, keningnya yang lebar, dan rambutnya yang pendek lurus
berwarna putih membuat saya berdelusi, bahwa lelaki ini sepertinya berasal dari
salah satu negara pecahan Uni Soviyet.
Suatu waktu Syaikhuddin pernah bercerita mengenai kehidupan kanak-kanaknya
pada saya dan anak-anak yang lain saat ia mendapat jatah untuk mengajar di
sebuah Taman Pendidikan Qur’an di Masjid desa Karangnongko yang berlokasi di
seberang sungai, 3 kilometer dari rumah saya. “Suatu kecil, aku diajak kakakku
untuk mengikuti sholat berjamaah di masjid. Karena tak ingin aku gaduh, kakakku
membariskanku di shaf paling depan tepat di belakang imam bersamanya. Selesai
sholat, tiba-tiba aku telah menghafal ayat-ayat yang dibacakan imam,” kisah
Syaikhuddin pada kami.
Saat itu Syaikhuddin yang usianya masih sangat muda, bahkan kakak
kandungnya saja tak berani melepasnya sendirian di masjid, mampu menghafal
surat Al-A’la yang panjangnya 19 ayat hanya dengan sekali dengar. Tak heran
jika di kemudian hari Syaikhuddin dikenal sebagai sedikit orang yang mampu
menghafal Qur’an di tepi kota penghasil karet ini.
***
Kisah Syaikhuddin ini seakan membenarkan perkataan Mukhtar pada saya.
“Apakah ada orang-orang seperti ini (yang hafalannya sangat kuat) di masa
sekarang? Ya, ada. Kadang kita melihat anak-anak kecil yang sangat mudah
menghafal ,” kata Muhktar di salah satu bagian pengisahan Si Penutup Telinga di
Padang Pasir.
Orang-orang seperti Syaikhuddin, atau tokoh-tokoh utama dalam kisah-kisah
tentang para perawi terdahulu yang hafalannya sangat kuat yang mempertaruhkan
hidup dan matinya hanya demi mencari ilmu untuk para penerusnya seperti Imam
Bukhari, Daruqutni, atau Imam Syafi’i seakan dilahirkan sebagai pengingat bagi
kita akan ciptaan Tuhan yang begitu hebatnya. Seperti Syaikhuddin yang saya
kisahkan bahkan tidak lahir dari sebuah sistem, ia berkemampuan dengan bakat
yang diberi Tuhan sejak lahir.
Generasi kita lebih mengenal Joe Shandy, Dominic O’Brien, atau tokoh ‘Pissing’ dalam film Life of Pi --penghafal
ribuan angka di belakang koma dari Pi--. Padahal begitu banyak kisah-kisah
mengangumkan para penghafal yang tersisip di antara buku-buku populer di
perpustakaan atau artikel-artikel di internet tentang Raffi Ahmad. Saya beruntung menemukan kisah itu di kehidupan saya sendiri saat
berjumpa Syaikhuddin. Setahun lalu Syaikhuddin telah wafat. Semoga Allah
memberinya kehidupan yang baik setelahnya. Berharap ada orang dengan bakat
serupa sebelum kita menjulukinya "a man we'll never be" sepeninggalnya, sebagai penerus para perawi terdahulu yang kisahnya
terlampau panjang untuk saya tulis di sini.
0 comments