me and football part 2: Favoritism Has Emerged
Thursday, January 10, 2013
saya tidak begitu yakin, kapan mulai gemar menonton
pertandingan-pertandingan bola di TV. Tetapi di memori saya masih terekam,
suatu waktu saya pernah menyaksikan pertandingan final World Cup 1998 dengan
duduk manis di depan layar kaca. Penayangan ulang final World Cup ’98 di RCTI
dalam rangkaian acara menyambut World Cup 2010 beberapa waktu itu barangkali
menjadi nostalgia di memori saya. Passing-passing para pemain Prancis begitu
akurat dalam pertandingan itu, dan saya baru menyadarinya setelah menonton
pertandingan itu dua kali dengan tenggang waktu yang sangat panjang.
Final World Cup 1998 adalah tayangan bola di TV tertua yang
masih saya ingat. Saya memang tidak terlalu tertarik menonton bola di TV sampai
akhirnya pada tahun 2001 saya jatuh cinta pada AS Roma, klub Serie A yang pada
tahun itu berhasil meraih Scudetto. Kesukaan pada Roma terjadi begitu saja.
Sejak saat itu saya mulai rutin begadang tiap akhir pekan untuk menyaksikan
Roma berlaga. Sembari menunggu tayangan Serie A dimulai, menonton Ketoprak Humor
atau Pagelaran Wayang Kulit Indosiar merupakan sajian pre-match yang sangat
menyenangkan waktu itu.
Saya tidak begitu mengikuti perkembangan AS Roma belakangan
ini. Hanya kegagalan demi kegagalan Roma meraih Scudetto sejak terakhir kali tahun 2001 lalu, gagalnya Roma menembus
Liga Champions beberapa kali, dan indikasi-indikasi penurunan performa Roma
lainnya, terutama di bawah komando Zdenek Zeman yang saya
dengar. Hal ini berbeda dengan awal hingga pertengahan dekade lalu, saat saya
selalu berusaha mengikuti pertandingan demi pertandingan Roma yang ditayangkan
di TV. Saya juga masih ingat beberapa pemain-pemain andalan Roma yang kerap
masuk daftar starting eleven kala itu.
Tomassi, Antonioli, Candela, Montella, Batistuta, Panucci, Lima, Zebina,
dan tentu yang paling tersohor adalah Francesco Totti yang sampai sekarang sepertinya
masih menjadi trequartista andalan Roma. Skill Totti masih begitu mumpuni pun
dengan sikap temperamentalnya yang masih kerap menjadi-jadi, salah satu yang
paling diingat para fans adalah tendangan Totti ke arah Balotelli yang
membuatnya tercoret dari skuad yang akan dipanggil Marcello Lippi ke World Cup 2010. Tapi bagaimanapun Totti
adalah maha bintand di Roma, bahkan jika dibandingkan dengan sikap bengal yang
juga dimiliki sparing-nya, Balotelli, Totti adalah kebalikan dari Balotelli. Totti
menutupi sifat bengalnya dengan skill-nya,
Balotelli menutupi skill-nya dengan
sikap bengalnya.
Dari semua pengalaman menonton pertandingan Roma, selain
tendangan Totti itu, satu kejadian konyol yang masih selalu saya ingat adalah
tindakan bodoh Zebina saat menjontor kepala Alvaro Recobba yang membuatnya dikartu
merah. Yang menjadi menarik saat itu adalah karena Recoba merupakan bintang
lapangan di pertandingan itu. Dia berhasil mencetak 2 gol keunggulan Inter. Jadilah
pertandingan itu menjadi pertandingan lucu-lucuan saat pemain dari tim yang
kalah menyerang pemain terbaik dari tim yang menang. Zebina tidak menyerang tim
secara keseluruhan, dia hanya menyerang pemain terbaik di tim itu, di situlah
letak lucunya, seperti anak kecil yang marah karena rekannya memperoleh
prestasi yang lebih mentereng dan dipuji orang.
Roma di era Spaletti dan sebelumnya adalah sebuah tim dengan
para pemain medioker yang punya kolektivitas tinggi dalam bermain. Totti,
Batistuta, dan paling banter Cassano, bahkan torehan gol bukti ketajaman mereka
kala itu tak bisa disejajarkan dengan Christian Vieri dan Inzaghi, namun mereka
berada dalam tim yang punya tren untuk selalu di papan atas.
Seperti jatuh cintanya saya dengan Roma yang terjadi begitu
saja, pada tahun 2002 saya jatuh cinta pada Tim Panzer Jerman. Saat mulai
intens menonton sepakbola setelah menyukai Roma sejak 2001, saya begitu
tertarik dengan penyelenggaraan FIFA
World Cup 2002 yang dipublikasikan besar-besaran kala itu hingga suatu pagi
saya melihat berita di TV mengenai persiapan tim Jerman menghadapi piala dunia
yang diselenggarakan di Asia untuk pertama kalinya itu. “Bukan tidak mungkin
juara dunia 3 kali ini akan kembali meraih gelar juara kembali,” kata narator
berita kala itu yang membuat saya menyukai tim Jerman untuk pertama kalinya.
Jerman dan Roma adalah sebuat kontradiksi. Berbeda dengan
Roma yang tak banyak punya pemain bintang kelas satu, Jerman punya beberapa
pemain beken dengan skill mentereng dalam skuad yang berlaga di World Cup 2002,
sebut saja Ballack, Klose, dan Oliver Kahn. Prestasi Jerman pun konstan, 1 kali
final dan 2 kali semifinal adalah bukti konsistensi Jerman. Sampai sekarang
saya tidak mencintai klub bola manapun sedalam rasa cinta saya pada Roma dan
Jerman pada waktu itu, walaupun rasa cintai saya pada Roma dan Jerman agak
luntur akhir-akhir ini.
0 comments